Kritikan Rakyat Ibarat Kejahatan dalam Sistem Kapitalisme

Daftar Isi

 


Sejatinya demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat

Seharusnya negara memberi ruang dialog, menerima utusan, dan tidak mengabaikannya


Penulis Elli Nopitasari

Pegiat Literasi 


Siddiq-news.com, OPINI -- Pada Kamis, 22 Agustus 2024 terjadi unjuk rasa besar mengawal putusan MK. Ribuan demonstran yang menolak RUU Pilkada terlibat bentrok dengan TNI-POLRI. Unjuk rasa ini diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat yang merasakan kesewenang-wenangan pemerintah terhadap putusannya yang menyimpang.

Seperti biasanya, apabila terjadi aksi unjuk rasa, selalu ada pengamanan ekstra ketat. Hal tersebut wajar untuk menjaga ketertiban dan keamanan peserta aksi unjuk rasa, tetapi tak terelakkan sering pula terjadi kericuhan karena adanya oknum yang membuat rusuh, baik karena mencari perhatian, orasi yang kasar, perusakan, ataupun kesalahpahaman. Di sisi lain, aksi unjuk rasa yang tidak ditanggapi dengan cepat dan baik, serta peserta aksi yang tidak diberikan ruang untuk berpendapat, membuat mereka tersulut amarah. Merespons hal ini, aparat keamanan dengan perlengkapan lengkapnya menghadapi para demonstran ibarat menghadapi musuh dan siap menyerang.

Umat unjuk rasa karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh negara, yang menjadi salah satu cara untuk mengingatkan pemerintah. Ironisnya, aparat justru menyemprotkan gas air mata dan melakukan kekerasan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat. Seharusnya negara memberi ruang dialog, menerima utusan, dan tidak mengabaikannya.

Terdapat beberapa kasus tindakan represif aparat keamanan dalam aksi mahasiswa ketika mengawal putusan MK di beberapa daerah, seperti di Semarang, Makasar, Bandung, dan Jakarta. 

Di Jakarta, banyak orang yang ditangkap. Hingga sore setidaknya sudah belasan orang yang ditangkap. Jumlah mereka terus bertambah. Termasuk yang ditangkap adalah staf Lembaga Bantuan Hukum Jakarta serta Direktur Lokataru, yang menjadi korban luka. Selain itu, sembilan orang lainnya juga menjadi korban tindakan represif polisi, termasuk mahasiswa dari Universitas Paramadina dan UHAMKA. Tujuh jurnalis dari berbagai media (termasuk Tempo dan IDN Times) juga mengalami tindak kekerasan polisi.

Di Bandung, polisi terekam dalam video memukul pengunjuk rasa dengan tongkat dan menginjaknya.

Di Semarang, paling tidak terdapat 15 mahasiswa dari berbagai kampus (Undip, Unnes, UIN Walisongo) dirawat di RS Roemani karena tembakan gas air mata hingga mengalami sesak nafas, mual, mata perih, dan beberapa bahkan pingsan.

Ada pula Andri Andriana (22 tahun), mahasiswa yang terancam kehilangan mata akibat kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Polisi tak segan untuk menembakkan gas air mata kepada para demonstran. Tindakan ini sudah termasuk pelanggaran hukum, tindak pidana, dan melanggar peraturan internal Kapolri.  

Dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan saat situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat jelas bertentangan dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum yang mengatur kewajiban dan tanggung jawab polisi untuk melindungi HAM dan juga menghargai prinsip praduga tidak bersalah.

Perilaku aparat yang brutal adalah bukti gagalnya mereka menyadari bahwa siapa pun berhak untuk memprotes kebijakan pemerintah melalui unjuk rasa, berhak untuk menggugat, tidak setuju, atau beroposisi, dan semua ini dilindungi oleh hukum nasional maupun internasional. Kekuatan hanya bisa dipakai saat polisi melindungi atau menyelamatkan masyarakat, baik peserta aksi maupun petugas.

Faktanya, kekerasan yang dilakukan aparat sangatlah tidak perlu. Penggunaan kekuatan yang represif seperti kekerasan, peluru karet, gas air mata, kanon air, maupun tongkat pemukul tidak diperlukan sepanjang tidak ada ancaman nyata. Hal itu harus dipertanggungjawabkan.

Kekerasan tidak boleh digunakan untuk menghukum mereka yang dituduh tidak patuh terhadap kebijakan pemerintah. Jika penggunaan kekuatan tidak dapat dihindari, aparat harus secara jelas diperintahkan untuk menghindari terjadinya cedera serius dan tidak menyerang bagian tubuh yang vital.

Negara harus mengusut dan menindak semua pelakunya, sampai tuntas. Jangan ada lagi korban yang jatuh. Pemerintah dan aparatnya harus belajar menghormati kemerdekaan tiap-tiap orang untuk menyampaikan pendapat, termasuk yang anti pemerintah sekalipun. Semua brutalitas aparat menunjukkan bahwa janji bersikap profesional dan menjadi pengayom, seperti kerap dinyatakan Kapolri, tidak terbukti dalam kasus perlakuan yang brutal.

Sudah saatnya Indonesia meninggalkan perilaku kekerasan yang tidak perlu, menghentikan arogansi dengan memproses hukum aparat keamanan yang terlibat secara terbuka, independen, dan seadil-adilnya.

Salah satu cara untuk menjaga agar pemerintah tetap berada di jalan Allah adalah dengan menjadikan syariat Islam sebagai pedoman pengambilan keputusan, adanya muhasabah lil hukam, syariat dijadikan tolak ukur keadilan, juga adanya lembaga seperti Majelis Ummah dan Qadli Madzalim. Hukum Islam memiliki pencegah atas ragam kezaliman, baik oleh individu maupun penguasa. Sebabnya, unsur takwa dalam diri setiap muslim akan mencegah dirinya dari berbuat zalim.

Selain itu, ada kewajiban amar makruf nahi mungkar atas kaum muslimin yang berperan mencegah kemungkaran. Islam menjadikan aktivitas nasihat-menasihati sebagai kewajiban setiap individu, kelompok, dan masyarakat. Kewajiban umatlah untuk mengamarmakrufi penguasa jika menyimpang dari syariat, dan menjadi kewajiban penguasa memberi dan menjamin kemasalahatan rakyatnya. Penguasa juga memahami tujuan adanya muhasabah,yaitu tetap tegaknya aturan Allah, sehingga terwujud negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Wallahualam bissawab. []