KCBJ, Simbol Modernisasi Transportasi Tak Pro Rakyat

Daftar Isi

Proyek KCJB bukan termasuk infrastruktur yang mendesak dan penting

Seharusnya negara tidak boleh mengambil utang sebagai kebijakan pembiayaannya


Oleh. Heni Rohaeni


Siddiq-News.com, SURAT PEMBACA-Dikabarkan bahwa Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) Whoosh, sukses menarik perhatian masyarakat mancanegara dengan melayani lebih dari 200.000 penumpang warga negara asing (WNA) sejak mulai beroperasi secara komersial pada pertengahan Oktober tahun lalu. Kereta Whoosh merupakan kereta api cepat pertama di Asia Tenggara. ANTARA.id (23-8-24) 

General Manager Corporate Secretary PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Eva Chairunisa mengatakan bahwa capaian  itu merupakan bukti bahwa KCJB telah menjadi simbol modernisasi transportasi di Indonesia yang diakui internasional. Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) juga menyatakan bahwa KCJB menaikkan promosi pariwisata lokal, khususnya kota Jakarta dan Bandung. Astindo menerima banyak permintaan perjalanan wisata menggunakan Whoosh, terutama dari pelajar. 

Sayangnya harga tiketnya terhitung mahal bagi penduduk pribumi.  Wajar memang ongkosnya mahal karena proyek KCJB telah menelan biaya yang tidak sedikit, lalu perawatannya pun dapat dipastikan perlu biaya tinggi. Oleh karena itu, masyarakat harus merogoh kocek dalam-dalam agar dapat menikmati fasilitas ini. Pertanyaannya, jadi  apa gunanya KCJB untuk rakyat?

Inilah ciri khas pembangunan di negara dengan sistem kapitalisme, di mana pembangunan infrastruktur dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan swasta dan bertujuan hanya untuk meraup untung. Pembangunan dijadikan ladang bisnis bagi proyek para oligarki demi ambisi dan kepuasan mereka sendiri. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator, pembuat aturan yang memuluskan jalan para oligarki berbisnis.

Rakyat hanya jadi penonton kemewahan kalangan berduit. Sungguh diskriminatif, (pilih kasih).

Selain kental dengan diskriminasi, proyek KCJB bukan termasuk infrastruktur yang mendesak dan penting. Karena moda transportasi umum Jakarta-Bandung sudah ada Kereta Api Parahyangan dengan ongkos relatif murah.  

Apalagi jika pembiayaannya bersumber dari utang. Utang berbasis riba, selain haram, juga mengancam kedaulatan dan kemandirian negara. Utang juga menjadi beban rakyat karena nanti rakyat yang tidak menikmati fasilitas itu, harus turut membayar utangnya. Seharusnya negara tidak boleh mengambil utang sebagai kebijakan.

Berlainan dengan sistem Islam.  Islam sebagai agama sekaligus sistem kehidupan memiliki pandangan khas mengenai pembangunan. Islam memberikan tanggung jawab besar untuk negara atau pemerintah. Negara dalam hal ini khalifah, berkewajiban mengurusi seluruh kebutuhan rakyat. Khalifah dan jajaran pemerintah lainnya bertugas sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Tidak boleh berbisnis dengan rakyat.

Khalifah wajib memberikan fasilitas transportasi yang aman, nyaman, dan murah untuk seluruh lapisan masyarakat. Tidak dilihat dia kaya atau miskin, muslim atau bukan, selama menjadi warga negara, Khilafah wajib melayaninya dengan baik.

Khilafah akan membangun semua fasilitas transportasi memakai biaya dari kas negara bukan dari dana pinjaman luar negeri. Biaya yang berasal dari kas negara (baitulmal) diperoleh  dari berbagai sumber pemasukan, seperti  kharaj, ganimah, fai, jizyah, pengelolaan Sumber Daya Alam, dan sebagainya.

Khilafah tidak akan mengundang investor asing atau swasta untuk membangun sistem transportasi. Apalagi investasi tersebut berasal dari negara yang jelas-jelas memusuhi Islam (kafir harbi). Dengan adanya seleksi dan aturan yang tegas ini, Khilafah jadi mandiri tidak mungkin didikte oleh negara lain. Tanpa utang kewibawaan negara akan terjaga.

Demikianlah pembangunan infrastruktur dalam Islam, bertujuan untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin , yakni memberi pelayanan terbaik, sepenuh hati, dan bermaslahat bagi generasi mendatang. Wallahualam bissawab. []