Indonesia Darurat Kekerasan terhadap Perempuan, Kapitalisme Gagal Menciptakan Ruang Aman

Daftar Isi

 

Masih tingginya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, tidak lepas dari adanya atmosfer kehidupan sekularisme kapitalisme yang memicu terjadinya kekerasan


Oleh Nahida Ilma

Aktivis Dakwa Kampus

 

Siddiq-News.com, OPINI-Belum genap satu bulan, kasus pembunuhan terhadap perempuan dengan cara yang keji dan sadis terjadi di bulan September ini. Ada tiga kasus pemerkosaan dan perempuan di mana para pelaku yang ditangkap polisi adalah laki-laki yang mengenal korban bahkan memiliki relasi personal dengan korban.

Siswi Palembang (13 tahun) dibunuh oleh 4 anak laki-laki teman sebayanya karena menolak ajakan berhubungan badan. Gadis penjual gorengan dibunuh oleh seorang residivis. Polisi menduga pelaku pembunuhan adalah tetangga korban yang merupakan residivis kasus pencabulan. Selanjutnya adalah kasus SO (21 tahun) yang ditemukan meninggal dengan sejumlah luka tusuk di rumah kontrakannya yang mana pangkal kasus ini adalah kekerasan rumah tangga yang berujung maut dilakukan oleh suami korban (Narasi Newsroom, 19 September 2024).

Problem kekerasan terhadap perempuan masih belum terselesaikan di negeri ini, bahkan kasusnya makin meningkat setiap tahunnya. Menurut Komnas Perempuan, pada tahun 2020 terdapat 95 kasus kekerasan pada perempuan. Pada tahun selanjutnya grafik peningkatan terus terjadi dimana pada tahun 2021, melonjak menjadi 237 kasus dan pada 2022 naik menjadi 307 kasus. Sedangkan pada tahun 2023, tercatat 159 kasus. Layaknya gunung es, kasus kekerasan terhadap perempuan hanya sedikit yang sampai ke permukaan.

Masih tingginya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, tidak lepas dari adanya atmosfer kehidupan sekularisme kapitalisme yang memicu terjadinya kekerasan. Pelaku kekerasan, adalah orang yang berpikir kriminal dan jauh dari karakter takwa. Banyaknya masyarakat yang berfikir kriminal menunjukkan gagalnya negara membangun karakter mulia dalam diri warga negaranya. Hal ini dipicu oleh sistem pendidikan sekuler sebagai salah satu sarana vital penanaman pemahaman sekuler.

Sekularisme merupakan paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini telah mendorong individu berbuat sesukanya termasuk melakukan kejahatan demi memenuhi nafsu dan kesenangan pribadinya. Selain itu, sistem sanksi yang berlaku pada pelaku kekerasan juga tidak memberikan efek jera di mana tindak kekerasan seolah dianggap biasa dan sering kali diabaikan. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus kekerasan yang tidak dituntaskan sehingga dapat memberikan keadilan terhadap korban. Tak sedikit pula, kasus kekerasan terhadap perempuan baru diusut tuntas setelah viral di media sosial. Ini menjadi satu bukti bahwa tidak ada keseriusan dari negara untuk menyelesaikan secara tuntas persoalan ini.

Pengaruh media yang berorientasi untung yang dibangun negara juga memberikan andil terhadap maraknya kekerasan pada perempuan. Media yang jauh dari unsur edukatif di mana tayangan atau tulisan apapun bebas disebarluaskan selama memiliki peminat atau konsumen di pasaran. Sehingga tayangan-tayangan berbau kekerasan dapat dengan mudah didapatkan di berbagai platform media, terutama media sosial yang banyak digunakan masyarakat.

Sejatinya, pemerintah sudah memiliki regulasi untuk menekan kekerasan pada perempuan yaitu UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Regulasi ini digadang-gadang mampu menyelesaikan kekerasan terhadap perempuan. Namun faktanya, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan justru makin marak terjadi. Sebab, UU tersebut masih berasaskan sekularisme yang menolak agama mengatur kehidupan sehingga pasal-pasal yang terkandung di dalamnya tetap memberi peluang terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Tidak adanya pengaturan terkait pacarana ataupun perzinaan, yang semuanya sejatinya juga termasuk tindak kejahatan. Dalam sistem sekuler kapitalisme, perempuan hanya dianggap sebagai objek eksploitasi, sehingga suatu kemustahilan untuk dapat menciptakan ruang aman bagi perempuan.

Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah. Islam terbukti mampu menjamin kehormatan serta keamanan perempuan di mana kemampuan ini lahir dari prinsip-prinsip islam terkait dengan kepemimpinan. Salah satu di antaranya adalah penguasa dalam Islam diposisikan sebagai perisai (pelindung) sebagaimana sabda Rasulullah saw.

Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng” (HR Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, ketika memandang masalah perempuan maka penguasa akan menempatkan mereka sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Serangkaian upaya preventif dilakukan untuk menjaga kehormatan dan keamana perempuan. Syariat tersebut di antaranya, Islam melarang perempuan berdua-duaan dengan laki-laki tanpa ada mahromnya. Laki-laki dan perempuan juga tidak boleh berinteraksi campur baur (ikhtilat) tanpa ada kebutuhan syar’i. Konsep ini akan menutup celah hubungan romansa yang tidak halal. Islam juga mensyariatkan perempuan untuk menutup aurat secara sempurna.

Sistem pendidikan yang berlaku juga bertujuan untuk membentuk ketakwaan individu masyarakatnya. Sehingga perilaku masyarakat dikontrol oleh pemahaman yang benar terhadap akidah dan syariat Islam. Tindakan maksiat atau kejahatan akan dijauhi apapun bentuknya. Islam juga melarang media menayangkan konten yang tidak bersifat edukatif. Apabila dengan berbagai upaya pencegahan ini masih terdapat kasus kekerasan pada perempuan, maka Islam memiliki sistem sanksi yang bersifat jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah agar orang lain tidak ikut melakukan kemaksiatan).

Begitu detail dan sempurnanya Islam dalam melindungi perempuan dari tindak kekerasan. Semua upaya untuk memberikan rasa aman perempuan hanya bisa dilakukan di negara yang menerapkan Islam Kaffah. Wallahualam bissawab. []