Komersialisasi di Balik Penyelenggaraan Haji

Daftar Isi

Tanpa sistem Islam, penyelenggaraan ibadah haji maupun umrah akan tetap dikelola dengan spirit Sekularisme

Menjadikan ibadah haji bukan lagi sekadar aspek spiritualitas tetapi juga bentuk komersial


Penulis Asriyanti, S.Si. 

Pegiat Literasi


Siddiq-news.com, ANALISIS -- Rentetan wacana kasus korupsi di Indonesia kembali bertambah. Tidak tanggung-tanggung, kali ini tindakan korupsi diduga dilakukan oleh pihak yang menangani penyelenggaraan haji. Sungguh sebuah ironi, Indonesia sebagai negara yang didominasi oleh penduduk muslim, tapi ternyata di lembaga keagamaan sekalipun beberapa kali terbukti tersandung kejahatan korupsi. Dalam hal ini selain dilakukan oleh pihak pejabat pemerintah, tentu juga melibatkan berbagai pihak yang lain.

Saat ini berbagai kanal media juga telah memberitakan terkait adanya dugaan penyelewengan dalam penyelenggaraan haji di Kementerian Agama. Dugaan kasus itu tentu saja membuat publik terenyak. Mengapa dalam pengurusan haji pun bisa terjadi hal tersebut bahkan kerap berulang.

Telah umum diketahui bahwa Indonesia sejauh ini masih tercatat sebagai negara dengan jumlah kuota haji terbanyak di dunia. Sejak 2017, Indonesia menjadi satu-satunya negara dengan jumlah kuota haji di atas 200 ribu orang per tahun. Selain kuota haji yang terbanyak, jumlah serapan pendaftarnya juga tertinggi. Dapat dilihat dari masa tunggu Jemaah haji Indonesia yang saat ini bisa mencapai 46 tahun lamanya sejak proses pendaftaran pertama. Hal itu tentu karena Indonesia selain berpenduduk banyak, juga karena memiliki jumlah populasi muslim yang lebih signifikan. 

Di tahun ini, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menyoroti Kementerian Agama dalam hal pengelolaan kuota haji Indonesia. Mereka menemukan adanya indikasi pelanggaran pembagian untuk jumlah kuota haji reguler dan kuota haji khusus. Sebagaimana data yang didapatkan bahwa di tahun 2024 ini Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan kuota haji Indonesia mencapai 241.000 Jemaah. Terdiri dari 213.320 jemaah haji reguler dan 27.680 jemaah haji khusus. Ini menjadi kuota haji terbanyak dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. 

Jika merujuk kepada UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah di Indonesia, ibadah haji terbagi dalam dua jenis yakni reguler dan khusus. Pasal 64 pada UU tersebut menyatakan bahwa jumlah anggota jemaah haji khusus maksimal 8% dari total kuota haji per tahun. Untuk itu, jika berdasarkan kuota haji tambahan baru dari pemerintah Arab Saudi, seharusnya jumlah anggota jemaah haji khusus maksimal 19.280 orang. Berarti jumlah calon haji jalur khusus yang disediakan tadi tidak sesuai ketentuan UU.

Sebelumnya, dari Komisi Pemberantasan Korupsi telah menerima laporan dari 5 kelompok masyarakat terhadap Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas mengenai dugaan korupsi penetapan kuota haji tahun 2024. Dalam laporannya, mereka menilai Yaqut melanggar ketentuan Pasal 64 ayat 2 UU Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Di mana yang terealisasi Kementerian Agama menetapkan kuota haji khusus sebesar 27.680 atau 11 persen dari total 241 ribu kuota haji Indonesia (Tempo.co 19-07-2024).

Dalam menghadapi permasalahan ini, beberapa waktu lalu, DPR RI telah membentuk panitia khusus (pansus) hak angket mengenai penyelenggaraan ibadah haji 2024. Pansus ini diharapkan nantinya dapat membongkar masalah pelaksanaan haji, termasuk dugaan adanya penyelewengan dana haji. Namun mampukah Pansus haji DPR mengungkap kasus penyelenggaraan haji sekaligus menyelesaikan persoalan yang terus berulang ini.

Tata kelola penyelenggaraan haji selama ini begitu banyak menghadapi permasalahan. Kasus korupsi dana haji juga dianggap terus berulang. Permasalahannya cukup kompleks dengan berbagai faktor penyebab. Pertama dikarenakan sistem pengawasan yang masih lemah. Pengawasan yang ada belum efektif untuk dapat mencegah terjadinya penyelewengan. Apalagi kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana. Sementara pada pengelolaan haji di negara ini memang terdapat beberapa titik yang dianggap rawan korupsi yang bisa ditemukan seperti markup biaya akomodasi, penginapan, biaya konsumsi, dan biaya pengawasan haji. Semua itu tentu memiliki potensi kerugian yang besar bagi jemaah haji, terutama lagi jemaah yang masih dalam daftar tunggu yang lama. Jika dibiarkan dana haji mereka kemungkinan akan terpakai bukan sebagaimana mestinya.

Ditambah lagi sistem hukum di Indonesia yang tidak tegas dalam memberikan sanksi kepada pelaku korupsi membuat tindakan korupsi makin mudah dan berpotensi untuk dilakukan. Dana kelolaan haji yang jumlahnya cukup besar dan melibatkan banyak pihak dalam pengelolaannya akan memberikan banyak peluang bagi oknum tertentu untuk melakukan penyalahgunaan dana haji. Kemudian dengan kondisi birokrasi yang rumit sering kali membuat pengurusan haji termasuk umroh terkesan berbelit-belit. 

Sudah seharusnya pihak pemerintah berusaha untuk menyederhanakan proses pengurusan haji. Apalagi mengingat tingginya antusias dari masyarakat muslim terhadap ibadah haji. Mereka tetap mengupayakan untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon jemaah haji meskipun dengan biaya yang besar. Tidak sedikit dari mereka harus menabung puluhan tahun agar bisa mengumpulkan dana untuk berangkat haji. 

Disebutkan bahwa untuk tahun ini biaya berhaji bisa sampai Rp93,41 juta perorangan. Biaya ini tentu cukup besar jika dibandingkan dengan kondisi keuangan masyarakat di negara ini secara umum. Mirisnya, sekalipun biaya haji cukup tinggi, itu tidak menjadikan berbagai pengurusan haji dilewati dengan mudah. Begitu pun dalam hal kenyamanan dalam pelaksanaannya, ada begitu banyak keluhan dari jemaah haji disebabkan oleh fasilitas dan pelayanan yang tidak maksimal. Dari sini pemerintah seharusnya berbenah dan melihat duduk persoalan dalam tata kelola haji yang sebenarnya. Jangan justru menjadikan besarnya semangat masyarakat dalam berhaji sebagai peluang untuk mendapatkan keuntungan.

Terlihat dengan adanya penambahan kuota peserta haji, maka perlu untuk memperjelas seperti apa dampak dari penambahan kuota tersebut. Di satu sisi hal tersebut dianggap baik karena memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi calon jemaah haji. Namun di sisi lain dengan bertambahnya kuota haji tentu akan berpeluang melahirkan masalah baru yang lain. Terbukti dari pembagian jumlah kuota haji yang diterbitkan oleh Kemenag tersebut menyalahi aturan konstitusi yang telah dibuat sebelumnya. Jumlah separuh dari penambahan kuota ternyata justru dibuka untuk peserta haji ONH plus. Itu berarti, sengaja untuk ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kemampuan finansial lebih dan ingin berangkat lebih dulu. Mengingat biaya haji ONH plus yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan haji reguler, sering kali dipandang lebih istimewa dan tentu dianggap lebih berpotensi untuk memberikan keuntungan bagi pemerintah.

Jika diperhatikan dengan baik banyaknya persoalan yang ada dalam birokrasi negara ini, termasuk di dalamnya pengelolaan dana haji, tidaklah semata-mata terjadi karena ulah oknum tertentu saja yang memanfaatkan peluang yang ada. Bukan pula dikarenakan jumlah jemaah haji yang besar sehingga pengelolaannya rentan akan masalah. 

Penyebab utama di balik itu semua adalah kesalahan paradigma penguasa dalam memandang pengurusan kehidupan rakyatnya. Di mana sistem kehidupan yang diterapkan saat ini oleh pemerintah adalah sistem sekuler yang melahirkan kapitalisme. Bukan justru menerapkan sistem Islam yang sudah pasti kebenarannya dari Allah sebagai Sang Pencipta manusia. Sistem sekuler inilah yang memisahkan peran agama dalam kehidupan publik. Termasuk dalam menangani penyelenggaraan haji, paradigma yang digunakan oleh pemerintah dalam sistem sekuler hanya akan dibangun atas asas kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan materi semata. 

Akhirnya para pejabat yang diberikan amanah pun sering kali berkhianat dan melakukan penyalahgunaan wewenang. Berbeda dengan sistem Islam yang mana penguasa termasuk pemerintahan diwajibkan untuk bertanggung jawab dalam mengurusi rakyatnya, memenuhi kebutuhan mendasarnya serta menjamin kesejahteraan mereka. Penyelenggaraan ibadah haji pun sudah seharusnya dipandang sebagai hal yang sakral dan wajib untuk ditangani dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam yang telah diwariskan Rasulullah. Dengan mengedepankan spirit akidah negara dan menjadikan rangkaian ibadah haji bukan sekedar ibadah ritual semata, melainkan aktivitas yang juga akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. 

Sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya akan menjalankan amanah dengan baik. Pengawasan yang ketat oleh pihak yang terkait juga akan menutup celah untuk melakukan tindakan korupsi. Begitu pun layanan dan fasilitas yang diberikan kepada para jemaah haji akan dimaksimalkan agar prosesi ibadah haji dapat dijalankan dengan baik. 

Pengaturan Islam akan membuat layanan dan fasilitas yang disediakan merata untuk semua kalangan tanpa membedakan jemaah haji mana pun. Untuk itu sudah saatnya mengganti sistem kehidupan saat ini dengan sistem Islam. Tanpa sistem Islam, penyelenggaraan ibadah haji maupun umrah akan tetap dikelola dengan spirit Sekularisme yang menjadikan ibadah haji bukan lagi sekadar aspek spiritualitas tetapi juga bentuk komersial. Wallahualam bissawab. []