Koalisi untuk Rakyat atau Oligarki

Daftar Isi

Dalam dunia politik demokrasi tidak ada lawan ataupun kawan yang abadi

Seperti itulah gambaran dari kondisi perpolitikan saat ini


Penulis Rismawati Aisyacheng

Pegiat Literasi 


Siddiq-news.com, OPINI -- Pada kondisi ideal adanya kepemimpinan dalam negara harusnya berimbas pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Namun apa jadinya saat negara menggunakan sistem demokrasi yang menempatkan kekuasaan di tangan rakyat justru melahirkan oligarki yang tak berkesudahan. Hal tersebut kembali terbukti di Indonesia saat ini, di mana pihak oligarki kembali saling berebut kekuasaan melalui koalisi partai.

Keberadaan sebuah partai politik masih menjadi ciri khas dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Di saat kekuasaan dianggap berada di tangan rakyat, justru faktanya partai politik yang yang juga memegang peran penting dalam menentukan penguasa. Di Indonesia yang juga menganut sistem demokrasi menempatkan parpol sebagai satu-satunya lembaga yang diakui Undang-Undang Dasar 1945 untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu. Itulah yang menjadikan posisi parpol masih begitu kuat dan seolah berkuasa di negara ini. Partai-partai politik yang dulunya lebih dikenal sebagai wadah masyarakat dalam memberikan partisipasi politiknya, kemudian menjadi sekadar jembatan meraih dukungan masyarakat. Kini bahkan kembali berani dalam mempertontonkan gebrakan politik yang jauh dari nilai-nilai dan cita-cita yang seringkali mereka gaungkan. Sebelumnya publik yang dibuat cemas dan penuh harap atas hasil dari kemenangan kubu Prabowo dan Gibran di Pilpres bulan April lalu. Seolah kembali diberikan harapan semu bahwa hasilnya akan mencerminkan komitmennya kepada rakyat. Namun seperti dugaan dari banyak pengamat, fakta yang terjadi di lapangan adalah mereka kembali membentuk kawanan elite baru serta berupaya untuk meneguhkan kekuatan oligarki partai politik yang telah terbentuk di pemerintahan. Layaknya beberapa tahun sebelumnya setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemenang dalam pilpres, saatnya mereka membentuk koalisi permanen dalam pemerintahan apalagi untuk menghadapi pemilihan kepala daerah yang juga membutuhkan dukungan besar dari partai politik yang ada.

Partai-partai politik pun kemudian saling merancang seraya menimbang setiap peluang dan keuntungan dari koalisi yang ditawarkan. Hingga masyarakat dipertontokan oleh kawanan elite partai yang menggelar pertemuan dengan presiden terpilih. Banyak pihak yang merespon pertemuan tersebut dan mewacanakan bahwa mereka akan saling berkoalisi. Prabowo menanggapi bahwa pertemuan tersebut semata untuk membahas perjalanan politik Indonesia ke depannya. Hingga kemudian muncul pemberitaan bahwa beberapa partai yang awalnya berada di kubu lawan Prabowo kini satu persatu mengunjungi pihak Prabowo untuk menyampaikan keinginan merapat ke barisan presiden terpilih tersebut. Itu berarti mereka akan ikut tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Beberapa partai yang ikut bergabung yakni partai NasDem, disusul oleh partai Persatuan Bangsa (PPP) dan Perindo. Selanjutnya ada partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Koalisi ini kemudian kerap disebut dengan KIM Plus (Tempo.co 19-08-2024).

Keputusan para elite dalam KIM yang berupaya memborong semua partai tentu akan berpengaruh besar dalam pertarungan Pilkada nantinya. Namun di balik itu semua, sangat jelas bahwa mereka tidak peduli lagi dengan kepercayaan masyarakat yang selama ini mendukung gagasan mereka dan berjuang untuk memenangkan suara atas calon pilihan mereka. Parpol berani menghadapi berbagai resiko demi mengedepankan kepentingan para elite partai. Persaingan politik berdasarkan idealisme sudah tidak lagi berlaku dikarenakan kecenderungan parpol untuk bersikap transaksional. Hal ini sangat terlihat dari koalisi yang berhasil terbentuk di antara mereka. 

Untuk kesekian kalinya rakyat dibuat kecewa kembali. Masyarakat yang selama ini merasa menjadi komponen penting bagi sebuah parpol menjadi tidak percaya lagi karena yang dulunya mereka anggap parpol menjadi representasi dari rakyat justru menunjukkan hal yang sebaliknya. 

Belum selesai rakyat kecewa karena pelaksanaan dan hasil dari pemilu yang terindikasi dipenuhi dengan kecurangan, kini diperlihatkan pengkhianatan oleh parpol dukungan mereka.

Di Indonesia, koalisi partai merupakan hal yang umum terjadi dalam upaya pembentukan pemerintahan. Koalisi ini kerap kali hanya didasarkan pada pertimbangan politik yang sifatnya pragmatis dan sesuai dengan kepentingan mereka. Sejak awal keberadaan parpol mereka menjadikan kekuasaan sebagai tujuan utamanya. Bukan lagi demi kepentingan rakyat dan negara. 

Sudah saatnya umat menyadari bahwa dalam realitas politik saat ini baik para politisi termasuk parpol hanya akan berusaha untuk menyelamatkan posisi masing-masing. Selain dalam rangka kepentingan politisinya, juga bagi tiap parpol agar pengaruhnya masih tetap ada dalam lingkaran oligarki pemerintahan. Inilah watak asli dari sistem politik demokrasi yang diterapkan selama ini.

Dalam dunia politik demokrasi tidak ada lawan ataupun kawan yang abadi, seperti itulah gambaran dari kondisi perpolitikan saat ini. Meskipun begitu, ternyata masih banyak yang berdalih bahwa secara ide, demokrasi tidaklah bermasalah. Seolah praktik yang dilakukan oleh oknum tertentu yang harus diperbaiki agar demokrasi bisa dijalankan dengan lebih baik. Hingga kekecewaan atasnya tidak seharusnya membuat masyarakat menyerah dalam memperbaiki sistem politik ini. 

Padahal hakikatnya demokrasi hanyalah sistem politik yang lahir dari paham kapitalisme, di mana sistem ini akan menempatkan para pemilik modal berada pada posisi paling di atas sehingga yang benar-benar memiliki pengaruh untuk mengatur dan mengeluarkan kebijakan adalah para kapitalis. Praktik politik yang berlaku tidak memiliki standar yang baku dan cenderung berubah sesuai dengan keinginan para pemilik modal dalam hal ini oleh oligarki. Bahkan menggalang koalisi pun semata-mata dilakukan demi kepentingan para elite di dalamnya. Sekalipun mereka berdalih bahwa mereka bersatu untuk kebaikan rakyat. Kondisi ini menjadikan makna politik di pemerintahan yang seharusnya mengurus rakyat justru malah makin jauh dari rakyat. Maka suatu hal yang tidak bisa dihindari dari sistem ini yakni lahirnya oligarki, di mana kekuasaan dimiliki oleh segelintir orang yang nantinya akan bebas berkuasa di atas rakyat.

Berbeda dengan politik di dalam Islam, pada hakikatnya politik harus tetap dikembalikan kepada prinsip syariat yakni pengurusan urusan umat. Sistem politik Islam memiliki standar yang jelas dalam segala aktivitas politiknya. semuanya dilakukan dalam rangka menjamin kemaslahatan rakyat secara keseluruhan. Potret kepemimpinan dalam Islam dapat kita pelajari juga dari sejarah kepemimpinan Rasululah saw. dan para pemimpin setelah beliau. Begitupun pemilihan pemimpin di dalam sistem Islam bisa sangat sederhana, cepat dan lebih murah. Semua yang terlibat dalam pemilihan itu, rakyat maupun penyelenggara pemilu akan menjalankan amanah tersebut dengan baik serta mewujudkan sosok penguasa yang menerapkan konsep politik yang sesungguhnya. Semua akan dilakukan dengan dorongan keimanan dan ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan syariat. Islam sebagai sistem hidup tidak akan berpihak pada kalangan tertentu. Semua aturan yang datang dari Sang Pencipta direalisasikan demi terwujudnya kemaslahatan seluruh rakyat. Tidak ada lagi kepentingan pribadi ataupun golongan partai sebagaimana dalam sistem politik demokrasi, karena tujuan utama yang ditargetkan yakni untuk meraih ridha Allah semata Wallahualam bissawab. []