Kebolehan Aborsi Menambah Beban Korban Pemerkosaan

Daftar Isi

Legalisasi aborsi untuk korban pemerkosaan justru dapat menambah penderitaan korban

Korban yang memilih untuk melakukan aborsi juga harus menanggung beban hukum karena menghilangkan nyawa janin


Penulis Ummu Aqila

Pegiat Literasi 


Siddiq-news.com, OPINI -- Presiden Jokowi telah mengesahkan PP 28/2024 sebagai Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pada Jumat, 26 Juli 2024. Peraturan tersebut mengatur ketentuan dan persyaratan aborsi di Indonesia dengan tujuan untuk mencegah praktik aborsi ilegal. Secara khusus, Pasal 116 menyatakan bahwa aborsi dilarang dan tidak boleh dilakukan kecuali dalam situasi darurat medis. Selain itu, aborsi hanya diperbolehkan bagi korban tindak pidana pemerkosaan atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan. tirto (30 Juli 2024)

Sekilas kebolehan aborsi untuk korban pemerkosaan yang hamil dalam PP 28/2024 dianggap sebagai salah satu solusi untuk korban pemerkosaan. Padahal sejatinya tindakan aborsi meskipun legal tetap beresiko. Aborsi adalah tindakan menggugurkan janin dalam kandungan, yang membawa risiko besar bagi perempuan yang melakukannya, termasuk risiko medis seperti perdarahan dan infeksi, yang bahkan bisa mengancam nyawa. Aborsi dapat meningkatkan risiko komplikasi dalam kehamilan berikutnya, seperti keguguran, kelahiran prematur, atau masalah dengan kesuburan di masa depan. Selain risiko medis, ada juga risiko nonmedis yang harus dipertimbangkan.

Jika diteliti lebih lanjut, legalisasi aborsi untuk korban pemerkosaan justru dapat menambah penderitaan korban. Selain harus menghadapi trauma dan rasa malu akibat kehamilan yang tidak diinginkan, korban yang memilih untuk melakukan aborsi juga harus menanggung beban hukum karena menghilangkan nyawa janin. Hal ini menambah beban yang sudah berat bagi korban.

Lebih dari itu, penting bagi kita untuk memahami penyebab maraknya kasus pemerkosaan agar dapat menemukan solusi yang lebih mendasar. Komnas Perempuan mencatat bahwa penyebab yang sering terjadi antara lain adalah penyebaran konten pornografi, peretasan dan pemalsuan akun, serta pendekatan manipulatif yang dikenal sebagai grooming.

Yang lebih memprihatinkan, di era digital ini, banyak kasus pemerkosaan bermula dari interaksi di media sosial. Kekerasan berbasis gender, termasuk pemerkosaan terhadap perempuan, di media sosial makin berbahaya seiring dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya kebiasaan orang-orang untuk mempertontonkan diri secara online. Sepanjang tahun 2023, akun @perupadata mencatat setidaknya enam kasus remaja berusia belasan tahun yang hilang setelah bertemu dengan orang yang mereka kenal dari dunia maya, yang akhirnya berujung pada pemerkosaan. Parahnya, remaja-remaja ini pergi dengan orang tersebut secara sukarela, tanpa paksaan, meskipun sebenarnya mereka telah diperdaya.

Terkait hal ini, pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menyebut fenomena "perangkap cinta" sebagai masalah global yang meningkat sejak pandemi Covid-19. Kesendirian yang dialami banyak orang selama isolasi mendorong mereka mencari teman di media sosial, yang kemudian dimanfaatkan oleh penipu untuk keuntungan pribadi. Penipu memanipulasi perasaan korban hingga jatuh cinta, yang sering kali berujung pada perilaku bebas dan tindakan yang berbau pornografi, akibat kurangnya kontrol diri dan pandangan yang tidak berlandaskan nilai-nilai syariat.

Islam Menyelesaikan Kasus Pemerkosaan

Islam, sebagai ideologi yang benar, memiliki aturan yang lengkap, jelas, dan tegas. Sanksi hukum dalam sistem Islam, sebagai bagian dari penerapan syariat secara menyeluruh, tidak hanya menimbulkan efek jera bagi pelaku (zawajir) dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa, tetapi juga dapat menjadi penebus dosa (jawabir) bagi pelaku di akhirat.

Penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan menciptakan ekosistem yang subur dengan keimanan dan ketaatan, sehingga kasus pemerkosaan sangat jarang terjadi, bahkan mungkin tidak terjadi sama sekali. Dengan kata lain, penerapan Islam secara menyeluruh, termasuk dalam sistem sanksi, benar-benar akan menutup celah kejahatan seksual terhadap perempuan, karena Islam mampu menyelesaikan pemerkosaan dari akar masalahnya. Hal ini jelas berbeda dengan sistem hukum buatan manusia yang cenderung berubah-ubah, tidak menimbulkan efek jera, dan tidak membuat orang lain takut untuk melakukan kejahatan serupa. 

Dalam sistem Islam, ada dua jenis hukum untuk kasus pemerkosaan:

Pertama, pemerkosaan tanpa ancaman senjata. Dalam kasus ini, pemerkosaan dikategorikan sebagai zina. Sanksinya adalah hukuman had yang ditetapkan untuk pelaku zina. Jika pelaku belum menikah (ghairu muhsan), hukumannya adalah 100 kali cambukan dan diasingkan selama setahun. Jika pelaku sudah menikah (muhsan), hukumannya adalah rajam sampai mati.

Korban pemerkosaan tidak dikenai hukuman had. Dalilnya adalah firman Allah Taala dalam QS Al-An’am (6) ayat 145, yang menyatakan bahwa "Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedangkan ia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ berpendapat bahwa selain dijatuhi hukuman had zina, pelaku pemerkosaan juga harus membayar mahar kepada korban. Baik korban masih gadis atau sudah menikah, jika dia seorang yang merdeka, pemerkosa wajib memberikan mahar. Jika korban adalah budak, pelaku harus membayar harta senilai harga budak perempuan tersebut. Hukuman ini hanya diberikan kepada pemerkosa, sedangkan korban tidak mendapatkan hukuman apapun.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pelaku hanya mendapatkan hukuman had zina tanpa kewajiban membayar mahar.

Kedua, pemerkosaan dengan ancaman senjata. Dalam hal ini, pelaku dihukumi seperti perampok, yang hukumannya telah disebutkan dalam QS Al-Maidah (5) ayat 33, yang menyatakan bahwa "Sesungguhnya hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah)."

Ibnu Abdil Bar mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa pelaku pemerkosaan berhak mendapatkan hukuman had jika ada bukti yang jelas atau pengakuan dari pelaku. Namun, jika tidak ada dua hal tersebut, pelaku masih berhak mendapatkan hukuman lain (selain had). Sedangkan korban, jika dia benar-benar dipaksa, tidak ada hukuman baginya. Hal ini bisa diketahui dari teriakan atau permintaan tolongnya.

Syekh Muhammad Shalih Munajid menambahkan bahwa jika tidak ada bukti yang cukup untuk menjatuhkan hukuman had, maka pengadilan dapat memberlakukan hukuman takzir (selain had) yang dapat menimbulkan rasa takut pada pelaku atau orang lain yang berpotensi melakukan tindakan serupa.

Ini semua menunjukkan bahwa aborsi jelas bukan solusi bagi korban pemerkosaan. Penyelesaian masalah ini harus dilakukan secara sistematis, dari akar hingga ke puncaknya. Sistem sanksi dan hukum Islam hanya akan efektif jika diterapkan dalam sistem pemerintahan yang juga menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, yaitu Khilafah Islamiyah berdasarkan minhaj kenabian, bukan atas dasar sekularisme yang mengabaikan aturan Allah Swt. dalam kehidupan. Wallahualam bissawab. []