Barang Cina Dominasi Pasar, Industri Dalam Negeri Terancam Gulung Tikar
Jika menolak impor berlimpah dari negeri Cina maka harus bersiap ekspornya merosot
Jika ekspornya surplus maka impor dari Cina melimpah dan berpotensi mematikan pabrik dalam negeri
Penulis Normah Rosman
Pegiat Literasi
Siddiq-news.com, OPINI -- Barang impor murah dari Cina sudah menguasai pasar-pasar Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya e-commerce yang menawarkan produk-produk asal negeri Tirai Bambu tersebut. Mulai dari kebutuhan rumah tangga, perkakas, hingga kosmetik.
Hal ini tentunya memiliki dampak positif dan negarif terhadap perekonomian Indonesia. Di satu sisi, masyarakat bisa memperoleh barang dengan harga murah, tetapi di sisi lain satu persatu industri di negeri ini tumbang. Dan itu berarti tingkat pengangguran makin tinggi. Dengan tingginya tingkat pengangguran maka otomatis tingkat kriminal juga akan meningkat.
Produk manufaktur Cina terus saja menggempur pasar domestik Indonesia. Bahkan sudah merambah hingga ke tekstil dan keramik. Tentu saja hal ini menimbulkan kekhawatiran pada industri dalam negeri, yang terancam keok karena kalah bersaing. Apalagi impor barang dari Cina sudah lama terjadi, dan bukannya berkurang tapi malah terus bertambah. Cina juga terus melakukan inovasi dan penetrasi pasar Indonesia melalui penguatan efisiensi dan skala ekonomi. Dengan biaya rata-rata sangat rendah sehingga komoditi mereka makin kompehetif (cnbcindonesia, 26/7/2024).
Situasi hari ini adalah buah dari Cina Asean Free Trade Area (CAFTA) yang berdampak buruk pada produk dalam negeri. Karena barang Cina jauh lebih murah jika dibandingkan dengan barang lokal. Ditambah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan literasi finansial yang rendah membuat kondisi saat ini makin parah. Dampak buruk yang ditimbulkan pada individu makin nyata. Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang komsumtif sehingga menjadi sasaran empuk bagi pelaku ekspor. Sedangkan negara hanya berperan sebagai regulator. Sehingga kebijakan yang mereka lakukan tidak berdampak signifikan pada keberlangsungan industri dalam negeri.
Ketua Komite Tetap Asia Pasifik Kadin Indonesia, Yohanes Lukiman mengatakan jika naik turunnya impor Cina akan turut mempengaruhi Indonesia. Mengingat Cina merupakan salah satu mitra dagang RI. Saat ini over capacity Cina telah berdampak pada banjirnya produk Cina di Indonesia. Namun, di sisi lain kinerja impor Cina yang turun membuat permintaan komoditas dari negara mitra dagang juga merosot, termasuk Indonesia. Kondisi ini membuat Indonesia kebanjiran produk murah Cina sehingga menekan daya saing produk lokal termasuk UMKM. Dampaknya PHK menjadi ancaman serius, bahkan pabrik banyak yang gulung tikar (cnbcindonesia.com, 15/7/2024).
Sungguh miris, Indonesia terjebak dalam regulasinya sendiri. Jika menolak impor berlimpah dari negeri Cina maka harus bersiap juga jika ekspornya merosot, dan sebaliknya jika ekspornya surplus maka impor dari Cina juga melimpah dan berpotensi mematikan pabrik dalam negeri. Peraturan pemerintah terkait impor juga kerap direvisi dan tidak memberikan kepastian kepada dunia usaha sehingga menyebabkan banyaknya pabrik tutup saat ini, terutama pabrik tekstil.
Islam menyadari betul jika kekuatan ekonomi suatu negara ditentukan oleh keberlangsungan sumber perekonomiannya. Dalam hal ini mencakup empat hal, yakni pertanian, industri, perdagangan dan jasa. Perdagangan sebagai salah satu sumber perekonomian negara yang memegang peranan strategis dalam proses pendistribusian barang. Perdagangan sendiri terbagi atas dua, yakni perdagangan domestik dan perdagangan luar negeri, atau yang biasa disebut dengan ekspor dan impor.
Hanya saja ada perbedaan fakta antara perdagangan domestik dan luar negeri. Karena negara Islam adalah negara yang menerapkan hukum Islam, baik ke dalam maupun ke luar, maka perdagangan ke luar negeri ini pun harus diatur oleh hukum Islam. Negara Islam menjalin hubungan keluar negeri dengan cermat dan mengutamakan kepentingan rakyat serta negara. Kalaupun ada perdagangan luar negeri yang terjadi, maka negara akan mengutamakan perlindungan industri atau dunia usaha rakyat dalam negeri. Negara juga menjamin iklim usaha yang kondusif dan aman untuk rakyat.
Perdagangan luar negeri menurut pandangan Islam, bukan hanya dilihat dari aspek barang apa yang diperdagangkan, tetapi juga melihat orang yang melakukan perdagangan tersebut. Dalam hal ini, mereka dibagi menurut negara asalnya. Yang pertama, kafir harbi, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang bermusuhan dengan negara Islam dan kaum Muslim. Kedua, kafir Mu’ahad, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir tapi mempunyai perjanjian dengan negara Islam. Dan yang ketiga, warga negara Islam.
Terkait dengan warga negara kafir harbi, mereka diperbolehkan melakukan perdagangan di negara Islam dengan visa khusus, baik itu diri maupun harta mereka. Kecuali warga kafir harbi fi’lan tidak diperbolehkan sama sekali melakukan perdagangan di negara Islam. Sedangkan untuk warga negara kafir Mu’ahad, boleh dan tidaknya mereka melakukan perdagangan di negara Islam tergantung pada isi perjanjian yang berlaku antara Khilafah dan negara mereka. Berbeda dengan warga negara Islam, baik Muslim ataupun non-Muslim mereka bebas melakukan perdagangan dalam dan luar negeri.
Meskipun perdagangan luar negeri merupakan aktivitas ekonomi, karena terkait dengan hubungan dengan pedagang dari luar wilayah kekuasaan Khilafah, maka arus orang, modal, dan barang yang ke luar masuk tetap harus berada di bawah kontrol Departemen Luar Negeri (Dairah Kharijiyyah). Selain itu negara juga akan tetap memperhatikan kebijakan-kebijakan yang mereka keluarkan. Karena kebijakan tersebut haruslah menjamin kesejahteraan rakyat sehingga memiliki daya beli tinggi dan memberikan edukasi terkait finansial sesuai dengan syariat Islam agar rakyat bijak dalam komsumsi. Wallahualam bissawab. []