Pinjol untuk Bayar Kuliah, Solusikah?
Regulasi ini justru mempertontonkan pendidikan sekuler, yang berorientasi materialistis dan pragmatis
Lepasnya tanggung jawab negara dalam meningkatkan taraf pendidikan rakyatnya malah menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan tersier yang sulit dijangkau
Penulis Rini Purnamawati
Pegiat Literasi
Siddiq-news.com, OPINI -- Dikutip dari tirto[dot]id, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy menilai adopsi sistem pinjaman online (pinjol) melalui Perusahaan P2P Lending di lingkungan akademik adalah bentuk inovasi teknologi. Beliau juga mendukung wacana student loan kepada mahasiswa untuk membayar uang kuliah. “Pokoknya semua inisiatif baik untuk membantu kesulitan mahasiswa harus kita dukung gitu termasuk pinjol” kata beliau di kompleks Parlemen, Jakarta (CNN Indonesia, 2/7/2024).
Hal ini menggambarkan bahwa pemerintah hanya bisa memberikan solusi atas permasalahan beratnya pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa dengan pinjol. Bukannya solusi yang meringankan malah menambah beban masa depan dengan utang.
Pinjol adalah utang ribawi yang tetap harus dibayarkan secara berkala, dalam jangka waktu tertentu ditambah dengan bunganya. Adapun riba sendiri itu dilarang dalam syariat sehingga jelaslah kalau utang pinjol yang ribawi ini adalah sesuatu yang haram, yang semestinya dijauhkan dari masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum kalau terlibat pinjol itu riskan karena jika tidak terbayarkan akan terlilit bunga yang terus berlipat yang bisa menambah stress mahasiswa yang sebenarnya terpaksa menggunakannya. Untuk selanjutnya mereka akan mencari cara bagaimana supaya utangnya bisa diselesaikan tepat waktu, bisa dengan bekerja mencari uang atau bahkan dengan mencari pinjol yang lain, tutup lobang gali lobang. Waktu dan tenaga mahasiswa akan teralihkan menjadi korban inovasi teknologi padahal tugas mereka adalah belajar untuk menghasilkan inovasi dibidang teknologi.
Telah tercatat uang pinjol sebesar Rp450 miliar sudah tersalurkan kepada mahasiswa melalui empat perusahaan pinjol, yaitu PT Dana Bagus Indonesia (DanaBagus), PT Cicil Solusi Mitra Teknologi (Cicil), PT Fintech Bina Bangsa (Edufund), dan PT Inclusive Finace Group (Danacita), dilansir dari CNN Indonesia. Hal ini juga mempertegas keberpihakan pemerintah kepada pengusaha pinjol dan menumbuhsuburkan transaksi ribawi yang dibalut sebagai inovasi teknologi di tengah masyarakat, lebih parah lagi dalam dunia Pendidikan.
Regulasi ini justru mempertontonkan pendidikan sekuler, yang berorientasi materialistis dan pragmatis yang bisa merusak masyarakat dan lepasnya tanggung jawab negara dalam meningkatkan taraf pendidikan rakyatnya malah menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan tersier yang sulit dijangkau.
Berbeda dengan Islam yang menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan primer rakyat yang disediakan negara untuk rakyatnya, karena berdasarkan hadis Riwayat Ibnu Majah, Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” Sehingga semua individu mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Negaralah yang bertanggungjawab dalam pengelolaan pendidikan dari mulai kurikulum sampai pembiayaannya. Kurikulumnya harus sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk kepribadian Islam yang menjadikan halal dan haram sebagai standar kebenaran. Sehingga membentuk pribadi yang tidak mudah tergoda oleh sesuatu yang haram. Pembiayaannya pun dianggarkan negara dari hasil pengelolaan kepemilikan umum seperti air, api, hutan, dan segala jenis barang tambang, juga dari fa’i, kharaj, dan jizyah. Bisa juga dari wakaf para aghniya (orang kaya) yang memang berniat untuk mendapatkan amal jariyah.
Walhasil setiap individu bisa menikmati fasilitas pendidikan dengan biaya murah bahkan bisa jadi gratis, menjadikan para akademisi tetap fokus menuntut ilmu dan mengamalkannya demi kemajuan umat. Islam pun menetapkan pejabat adalah teladan umat, pemimpin umat yang senantiasa taat syariat, dan menjadikan pemanfaatan teknologi sesuai dengan tuntunan syariat. []