Pengentasan Masalah Kelangkaan Pupuk dalam Sistem Islam

Daftar Isi

Sedangkan dalam sistem kapitalisme hari ini negara justru berlepas tangan dari tugasnya mengurusi rakyat (termasuk petani)

Negara bahkan menggelar karpet merah bagi swasta untuk mengkapitalisasi sektor pertanian demi keuntungan pemilik modal


Penulis Ratu Hanif

Pegiat Literasi 


Siddiq-news.com, OPINI -- Miris! Petani di Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus menempuh jarak sekitar 80 km untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Hal ini terungkap dalam temuan tim Satgasus Pencegahan Korupsi Polri, Yudi Purnomo Harahap dalam keterangannya Ahad 23/6/2024

Kelangkaan pupuk menjadi problem bagi petani saat ini. Masalah ini diungkapkan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, beliau menyampaikan "Saya kalau ke desa ketemu petani, sejak tahun 2020, keluhannya salah satu pupuk, utamanya pupuk bersubsidi." Lantas Jokowi juga menyampaikan bahwa dunia dalam posisi mengalami ketidakpastian ekonomi sehingga menjadi banyak krisis seperti krisis pangan keuangan, dan energi karena pandemi covid 19. Kondisi ini telah membuat 96 negara sudah menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF) Jokowi juga menyebutkan tentang perang Rusia-Ukraina yang membuat ekonomi dunia makin tidak menentu, sedangkan keduanya merupakan negara penghasil bahan baku pupuk.

Jokowi juga menambahkan,"Inilah yang kemudian kita nabrak-nabrak agar bahan baku tercukupi, tetapi juga pupuk Indonesia adalah perusahaan, kalau beli di sana mahal jualnya juga mahal." (CNBC Indonesia, 2/1/2024)

Pernyataan Presiden tentang penyebab kelangkaan pupuk seolah menjadi pemakluman bagi pemerintah terhadap kelangkaan pupuk bersubsidi dan mahalnya pupuk non subsidi. Rakyat diminta maklum terhadap kondisi yang ada. Padahal dengan langka dan mahalnya pupuk, rakyat sangat berduka karena pupuk merupakan kebutuhan pokok para petani untuk mengoptimalkan hasil pertanian. Jika tidak ada pupuk subsidi, petani harus membeli pupuk nonsubsidi dengan harga mahal yang pasti akan membebani para petani.

Berdasarkan data Ombudsman RI (21/2/2023) tren belanja pupuk terus menurun hingga Rp25,3 triliun pada 2023 dibandingkan tahun Rp34,1 triliun dan tentu saja ini berdampak pada menurunnya produksi padi di Indonesia pada satu dekade terakhir. Dari tahun 2012 volume produksi padi nasional yang mencapai 69,05 juta ton gabah kering giling (GKG) menjadi 81,07 ton GKG pada tahun 2017 dan makin anjlok pada 2022 menjadi 54,74 juta ton GKG.

Fakta yang dipaparkan Jokowi menunjukkan ketergantungan industri pupuk kita pada impor dan solusinya adalah kita butuh membangun kemandirian industri pupuk, bukan justru bertekuk lutut di bawah kendali segelintir pemilik modal yang mengimpor bahan baku pupuk untuk kemudian dia olah menjadi pupuk dan dijual mahal pada petani. Karena relasi pengusaha terhadap pertanian untuk relasi keuntungan alias cuan.

Akan tetapi masalah ini akan tetap menjadi masalah ketika di dalam sistem kapitalisme karena penguasanya bermental makelar. Penguasa hanya menghubungkan antara rakyat yang punya kebutuhan dengan pengusaha yang memproduksi barang-barang. Seyogianya pemerintah memposisikan dirinya sebagai raa'in dan mas'ul yaitu pengurus dan penanggungjawab terhadap urusan rakyat termasuk pupuk. Dengan posisi sebagai pengurus dan penanggung jawab ini, negara akan menjamin ketersediaan pupuk bagi petani.

Ketika ada kendala bahan baku, negara akan mengerahkan para peneliti untuk mencari bahan baku substitusi, jika tidak ada, negara akan mencari alternatif lainnya yang bisa digunakan untuk petani, untuk hasil pertanian yang pasti akan berdampak pada hasil pertanian yang tinggi, karena ketersediaan pupuk secara kontinu.

Negara yang berposisi sebagai pengurus dan penanggung jawab urusan rakyat ini hanya ada dalam sistem Khilafah. Dalam sistem ini negara akan mengerahkan para peneliti untuk mencari bahan baku substitusi jika tidak ada. Negara akan mencari alternatif pupuk lainnya yang bisa digunakan petani untuk optimalisasi hasil pertanian. Sedangkan dalam sistem kapitalisme hari ini negara justru berlepas tangan dari tugasnya mengurusi rakyat (termasuk petani) bahkan menggelar karpet merah bagi swasta untuk mengkapitalisasi sektor pertanian demi keuntungan pemilik modal.

Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) akan menjamin ketersediaan pupuk dan sarana produksi pertanian lainnya. Negara tidak hanya menjamin ketersediaannya tetapi juga menjamin harganya sangat terjangkau bahkan digratiskan jika diperlukan. Hal ini dicontohkan oleh perilaku Khilafah Umar Bin Khattab yang memberi benih pada seorang pria untuk kemudian ia tanam. Sistem pemerintahan Islam juga melakukan revolusi di bidang pertanian sehingga pertanian bisa efektif dan efisien dengan menggunakan teknologi tercanggih yang menghasilkan pertanian akan melesat dan memenuhi kebutuhan rakyat. 

Khilafah bahkan mengalami surplus pangan sehingga memiliki stok untuk jaga-jaga. Stok pangan ini jika dibutuhkan, bisa digunakan untuk membantu beberapa negara lain yang sedang mengalami bencana seperti yang terjadi pada masa Utsmaniyah yang membantu beberapa negara Eropa yang sedang mengalami paceklik. Masya Allah. Luar Biasa! Wallahualam bissawab. []