Minyak Kita, Milik Kita? Kenapa Mahal?
Para pemilik perusahaan lebih berkuasa, mereka bisa memainkan harga sesuai kehendak mereka
Sedangkan penguasa tak berdaya, malah sangat berpihak pada swasta
Penulis Verawati S.Pd
Pegiat Literasi
Siddiq-news.com, OPINI -- Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin pepatah itu bisa sedikit menggambarkan kondisi rakyat saat ini. Kondisi ekonomi yang terus merosot dengan harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik. Harga beras beberapa bulan lalu naik bahkan langka, hingga saat ini masih bertahan diposisi Rp12.000/kg untuk beras Bulog. Kini tidak mau ketinggalan, minyak goreng pun ikut naik.
Tentu kenaikan ini akan dirasakan langsung oleh rakyat terutama rakyat kelas menengah ke bawah dan para pelaku UMKM. Mereka harus menambah ongkos produksi dan ketika menaikan harga bisa jadi kehilangan pelanggan. Hal ini diprotes, di antaranya oleh para tokoh.
Dilansir media tempo (20/07/2024), kenaikan minyak kita diprotes oleh Ketua Yayasan lembaga Konsumsi Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, Langkah pemerintah menaikkan harga eceran tertinggi (HET) dari Rp14.000 menjadi Rp15.700 tidak masuk akal. Pasalnya, dia menyebut Indonesia merupakan eksportir minyak sawit mentah (CPO), bahan baku minyak goreng.
Kondisi ini sudah pernah terjadi, kenaikan yang langsung tinggi bahkan langka pada tahun 2022 lalu. Jadi sebenarnya bukan hal yang aneh, karena ini adalah buah dari sistem kapitalisme. Sebab dalam sistem kapitalisme pengurusan urusan rakyat diserahkan pada pihak swasta. Kalau sudah di tangan swasta, keuntungan adalah hal yang dituju. Tidak ada hubungannya dengan pengurusan rakyat.
Ini juga menggambarkan ada yang salah dalam tata kelola pangan. Pangan dalam hal ini minyak, pengelolaannya mulai dari hulu hingga hilir telah diserahkan kepada pihak swasta. Pemerintah berlepas tangan, hanya mengatur dari sisi regulator agar keadaan pasar tetap seimbang.
Ini bisa dilihat dari alasan kebaikan harga minyak. Dilansir media tempo, (20/07/2024), kenaikan HET MinyaKita merupakan usulan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan alias Zulhas. Alasannya, kata dia, harga minyak goreng rakyat itu harus menyesuaikan nilai Rupiah yang sudah merosot hingga Rp16.344.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat bingung atas alasan Kemendag, harga eceran minyak goreng harus disesuaikan dengan biaya produksi yang terus naik dan fluktuasi nilai tukar rupiah. (Liputan6, 20/07/2024)
Kenaikan harga apalagi dipicu oleh nilai tukar dolar sejatinya sebuah kewajaran dalam sistem ekonomi kapitalis saat ini. Sebab dolar menjadi standar dalam perdagangan. Para pemilik perusahaan minyak, dalam hal ini perusahaan yang mengeluarkan minyak kita tentu ingin mendapatkan keuntungan yang lebih. Meski sebagian besar bahan pembuat minyak dari dalam negeri tetap saja mereka standarkan dengan perdagangan luar negeri.
Namun apalah daya, para pemilik perusahaan lebih berkuasa, mereka bisa memainkan harga sesuai kehendak mereka. Sedangkan penguasa tak berdaya, malah sangat berpihak pada swasta. Sebab ketersediaan minyak untuk rakyat bergantung pada pihak swasta. Inilah pengaturan ekonomi dalam kapitalis. Semuanya diserahkan pada pemilik modal.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam penguasa atau pemerintah adalah lembaga yang menyediakan kebutuhan pokok rakyat. Dalam hal ini minyak, termasuk kebutuhan pokok sehingga ketersediaannya akan diurus dan diperhatikan oleh negara.
Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh negara Islam dalam penyediaan minyak goreng yang murah. Pertama, negara akan memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memiliki lahan. Bahkan negara akan memberikan modal kepada para petani untuk mengelola tanah. Sebab dalam Islam tidak boleh ada lahan yang tidak dikelola. Artinya setiap lahan yang ada diharuskan produktif.
Kedua, pemerintah akan memudahkan jalur pendistribusian, menyiapkan saran dan transportasi, sehingga rantai distribusi menjadi mudah dan murah.
Ketiga, negara akan menindaktegas para pelaku usaha yang melakukan kecurangan dan penimbunan. Mereka akan dihukum dan diberikan sanksi.
Keempat, negara tidak akan menetapkan harga tertinggi (HET). Harga akan diserahkan sesuai dengan mekanisme pasar. Negara hanya akan memantau saja. Jika harga naik negara akan menstabilkan harga. Salah satunya adalah jika barang langka, negara akan mengeluarkan stok barang yang dimiliki. Jika barang berlimpah, negara akan membelinya.
Demikian pengaturan sistem ekonomi dalam Islam khususnya terkait bahan kebutuhan pokok rakyat. Negara akan sekuat tenaga untuk menyediakan dengan murah dan mudah. Sebab prinsip penguasa dalam Islam adalah pelayan, bukan pebisnis. Sehingga kesejahteraan rakyat akan benar-benar terwujud dalam naungan sistem Islam saja, tidak di sistem kapitalis.
Dengan demikian maka sudah saatnya kita beralih pada sistem yang benar ini. Sebab sistem ini berasal dari Zat Yang Maha Benar.
Wallahualam bissawab. []