Malin Kundang di Era Modern, Makin Sadis dan Bikin Miris

Daftar Isi

Sekularisme juga telah melahirkan manusia-manusia miskin iman yang tidak mampu mengendalikan emosinya

Jiwa mereka rapuh dan kosong


Penulis Bunda Hanif 

Pendidik


Siddiq-news.com, OPINI -- Siapa yang tidak kenal dengan cerita rakyat “Si Malin Kundang”? Seorang anak durhaka yang tidak mau mengakui ibunya sehingga sang ibu sakit hati dan mengutuknya menjadi batu.

Legenda si Malin Kundang ini sudah tak asing di telinga anak-anak sejak generasi dahulu hingga kini. Ya, dongeng inilah yang selalu dikisahkan menjelang tidur, dengan harapan sang anak kelak menjadi anak yang berbakti, tidak seperti Malin Kundang. Namun Malin Kundang dalam legenda tersebut, tidak sampai membunuh orang tuanya. Berbeda dengan Malin Kundang versi modern yang justru jauh lebih sadis. Entah apa yang ada di benak Malin Kundang saat ini hingga tega menghabisi nyawa orang tuanya. 

Sudah begitu banyak krisis di negeri ini, tetapi masih ditambah lagi dengan maraknya fenomena anak membunuh orang tua kandungnya. Seringkali pemicunya hanyalah hal sepele. Seperti yang terjadi belum lama ini, seorang pedagang ditemukan tewas di sebuah toko perabot di Kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. 

Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, pelaku adalah dua anak kandung perempuan korban, yang masing-masing masih berusia 16 dan 17 tahun. Mereka menusuk ayahnya dengan sebilah pisau lantaran sakit hati karena dimarahi korban usai kedapatan mencuri uang korban. 

Beberapa hari sebelumnya juga terjadi kasus serupa, SPA (19) warga Kabupaten Pesisit Barat, Lampung, melakukan penganiayaan terhadap ayah kandungnya yang menderita strok. Korban dianiaya hingga terkapar dengan kondisi penuh darah dan tidak sadarkan diri. Pelaku tega menganiaya ayah kandungnya lantaran emosi saat diminta korban untuk mengantarnya ke toilet. Korban sempat dirawat inap, tetapi karena luka parah yang dideritanya keesokan harinya korban mengembuskan napas terakhirnya. (Tribun Lampung, 13-6-2024)

Padahal Allah telah memerintahkan seorang anak berbakti kepada kedua orang tuanya, sebagaimana dalam firman-Nya “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS Luqman: 14-15)

Juga  dalam ayat, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS Al-Isra: 23-24)

Mencermati fenomena di atas, sungguh miris, apalagi pelakunya masih remaja. Tindakan mereka yang sampai menghilangkan nyawa seseorang jelas-jelas merupakan tindakan kejahatan, apalagi dilakukan kepada orang tua kandungnya. Malin Kundang yang disebut-sebut sebagai anak durhaka tidak sampai membunuh orang tuanya. Tentu tidak salah jika kita menyebut mereka anak durhaka. Malin Kundang versi modern saat ini justru lebih sadis. 

Tindakan pembunuhan merupakan perbuatan yang jauh dari tuntunan syariat Islam, terlebih lagi dilakukan kepada orang tua kandungnya. Tentu saja hal ini adalah buah dari penerapan sistem sekularisme. Sistem ini telah menjauhkan manusia dari tuntunan agama. Agama hanya dipakai dalam urusan ibadah mahdhoh saja. Sehingga tidak heran jika generasi saat ini tidak mengerti arti dari berbakti pada kedua orang tua. Sakit hati mereka kepada orang tua, terlalu kelewat batas hingga menjadikan mereka gelap mata. 

Sekularisme kapitalisme telah berhasil merusak pandangan masyarakat saat ini tentang keluarga. Pada hakikatnya Allah telah menetapkan keluarga sebagai tempat untuk berkasih sayang karena di tengah-tengah mereka ada hubungan rahim. Seharusnya hubungan tersebut melahirkan rasa kasih sayang di antara mereka, bukan malah sebaliknya. 

Sekularisme juga telah melahirkan manusia-manusia miskin iman yang tidak mampu mengendalikan emosinya. Jiwa mereka rapuh dan kosong. Sejak dini mereka telah menjadi generasi rusak bahkan hubungan mereka dengan Allah juga rusak. Lebih parahnya lagi mereka juga menjadi generasi yang merusak pihak lain.

Selain sekularisme, rusaknya generasi juga disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tujuan hidup. Generasi yang tumbuh dalam sistem kapitalisme tidak mengerti bahkan abai pada kewajiban birrul walidain. Hal ini diperparah dengan sistem pendidikan yang sekuler yang tidak mendidik mereka menjadi orang baik dan saleh yang mengerti kewajiban birrul walidain.

Seharusnya sebagai seorang anak paham benar bagaimana mereka harus berperilaku terhadap orang tua. Kalaupun ada orang tua yang menyakiti hati kita sebagai anaknya, haruskah sang anak sampai menghilangkan nyawa orang tua kandungnya? Padahal kebaikan orang tua jauh lebih banyak daripada keburukannya. Seharusnya rasa maaf dan amar makruf nahi munkar yang lebih ditonjolkan.

Sekularisme telah membabat habis rasa kasih sayang dan rasa bakti anak terhadap orang tua. Yang tersisa hanyalah asas kemanfaatan semata. Akibatnya, ketika anak-anak merasa orang tuanya tidak berguna, maka mereka tak segan-segan menghabisi orang tuanya. 

Sistem kapitalisme telah terbukti gagal memanusiakan manusia. Sistem ini telah menjauhkan manusia dari tujuan penciptaannya yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah pembawa rahmat bagi semesta alam. 

Berbeda dengan sistem Islam yang mampu mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam serta taat syariat, termasuk berbakti dan hormat pada orang tuanya. Mereka juga mampu mengendalikan emosi dan hawa nafsunya. 

Kisah Luqman di dalam Al-Qur’an saat menasihati anaknya bisa kita jadikan contoh terbaik. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua.” (HR At-Tirmidzi)

Islam juga memiliki seperangkat aturan yang mampu menjauhkan generasi dari kemaksiatan dan tindak kriminal, baik secara individu, keluarga, masyarakat dan negara. Pertanyaannya, masihkah kita berharap pada sistem yang nyata-nyata telah memberikan kerusakan pada segala hal, khususnya generasi?

Wallahualam bissawab. []