Ironi Kapitalisasi Tenaga Kesehatan

Daftar Isi

Negeri yang kapitalistik menghadirkan sistem pendidikan yang sulit untuk menempuh pendidikan dokter yang terjangkau

Tentu ini menjadi penghambat untuk mencetak individu yang memiliki kompetensi


Penulis Ummu Ilmi 

Praktisi Kesehatan


Siddiq-news.com, OPINI -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana mendatangkan dokter asing ke Indonesia. Wacana ini telah bergulir sejak tahun 2023. Adapun payung hukumnya yaitu Undang-undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023. (Dilansir, liputan6, 10/07/24)

Selain itu, alasan pemerintah mendatangkan dokter asing dicakup dalam lima hal yaitu, transfer ilmu, mengisi kekosongan dokter, menyelamatkan 6000 bayi dengan kelainan jantung, menyelamatkan jiwa warga, dan meningkatkan kualitas SDM dokter dalam negeri. 

Berdasarkan data World Health Organization (2019), di Indonesia rasio dokter spesialis hanya 0,47/1000 penduduk. Artinya, data tersebut masih belum bisa mencapai standar rasio dokter menurut WHO yaitu, 1,0/1000 penduduk. Hingga peringkat ketersediaan dokter spesialis di Indonesia yang masih berada di urutan bawah, peringkat ke-147 di dunia. 

Padahal, kenyataannya Indonesia yang masih kekurangan dokter umum sebanyak 124.000 orang dan 29.000 orang dokter spesialis hanya mampu menghasilkan 2.700 dokter spesialis setiap tahun juga disinyalir sebab biaya pendidikan kedokteran yang sangat mahal. 

Bahkan, ketua kluster kedokteran dan Kesehatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, Iqbal Mochtar menurutnya, hal mengenai Indonesia masih disebut kekurangan dokter menyarankan agar merinci kembali dokter spesialis apa yang dibutuhkan dan untuk di daerah mana.

Di sisi lain, Hal ini juga tak terlepas dari eskalasi politik ekonomi global. Secara internasional, dalam World Trade Organization (WTO) atau organisasi perdagangan dunia. Indonesia termasuk anggota yang disebut General Agreement on Trade in Services (GATS). GATS bertujuan memperluas tingkatan liberalisasi pada dua belas sektor jasa, yaitu sektor bisnis, keuangan, konstruksi, kesehatan, pendidikan, transportasi, distribusi, lingkungan, pariwisata, olahraga dan budata, jasa lainnya, dan jasa komunikasi. 

Sehingga, program dokter asing di Indonesia menjadi konsekuensi keanggotaan dalam GATS. Sayangnya, hal ini masih banyak menimbulkan kontroversi. Sebab, untuk mendatangkan dokter asing yang berkualitas seperti yang di Amerika, dokter spesialis jantung di Amerika digaji kisaran 400-600 juta. 

Hal yang perlu diinsafi apakah pemerintah siap dengan penyejahteraan dokter-dokter berkualitas tersebut selain dengan gaji yang besar penyejahteraan dokter asing pula diikuti dengan tunjangan anak dengan pembiayaan biaya pendidikan gratis atau murah hingga pembiayaan dokter untuk melanjutkan pendidikan yang didapatkan sebelumnya dari negara asalnya. Diakui ini berbeda dengan penyejahteraan dokter di Indonesia. 

Selain itu, apakah dokter asing yang berasal dari negara maju mau diberi gaji standar sebagaimana di Indonesia yang masih jauh berbeda dengan negara asalnya. Tentu ini sangat dilematis. Sebab, untuk mendapatkan dokter berkualitas sesuai dengan kompetensinya negara harus menghargai jasa dengan gaji yang tidak sedikit. Apakah negara siap?

Jika pemerintah hanya mampu menggunakan jasa dokter dengan gaji standar di Indonesia maka dokter tersebut digadang-gadang berasal dari Nepal, Bangladesh atau Afrika yang masuk. Padahal, hal ini tentu masih jauh panggang dari api untuk menuntaskan masalah kesehatan masyarakat dalam negeri. 

Imbas Kapitalisasi Kesehatan

Sungguh ironis, aroma kapitalisasi dalam kesehatan semakin menjadi paradigma penentuan kebijakan. Pada akhirnya rakyat sebagai objek kesehatan yang tidak merasakan kebermanfaatan kebijakan yang dibuat. 

Rakyat tentu tidak akan mendapatkan pelayanan yang berkualitas karena standar yang di lakukan oleh pemerintah berlandaskan subjek pelaku pemberi pelayanan selalu menitik beratkan pada untung dan rugi, pada seberapa besar materi yang akan mereka dapatkan.

Padahal, masyarakat mengharapkan subjek pemberi pelayanan melakukan kewajiban mereka semata-mata mengharap rida Allah dan memberi yang terbaik bagi umat manusia.

Selain itu, negeri ini yang kapitalistik menghadirkan sistem pendidikan yang sulit untuk menempuh pendidikan dokter yang terjangkau. Tentu ini menjadi penghambat untuk mencetak individu yang memiliki kompetensi. Adapun yang mau untuk berdedikasi hanya memberi kontribusi terbaiknya bagi umat hanya sedikit yang diapresiasi. 

Di sisi lain, kewajiban negara untuk membangun fasilitas kesehatan yang memadai masih menjadi persoalan yang kompleks belum terselesaikan dengan baik.

Dokter Asing dalam Islam

Dalam Islam, keberadaan dokter asing sejatinya tidak masalah. Ini karena paradigma yang digunakan dalam perekrutan bukanlah paradigma liberal sebagaimana kapitalisme. 

Terkait hal ini, Rasulullah saw. pernah mendapatkan hadiah seorang tabib (dokter) dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya (HR Muslim)

Meski begitu, penguasa muslim atau khalifah dalam hal ini harus memegang kendali penuh untuk mengatur urusan perekrutan dokter asing. Hal ini terkait erat dengan langkah Khilafah memposisikan kesehatan sebagai sektor publik yang wajib tersedia bagi rakyat sehingga mekanisme pengelolaannya juga sebagaimana fasilitas umum.

Dengan pengelolaan harta yang dimiliki negara Islam yang berasal dari berbagai pos pemasukan, maka pemenuhan berbagai sektor dalam daulah Khilafah akan terjangkau, termasuk pembiayaan pendidikan kedokteran dan penyediaan segala fasilitas kesehatannya.

Tentu dalam kondisi ini, paradigma pembiayaan yang sangat tinggi pada sistem liberal akan dipatahkan oleh penerapan sistem Islam. Di sisi lain, para dokter muslim yang dihasilkan dari sistem pendidikan Islam berkesempatan menjadi agen perubahan dalam mewujudkan paradigma kehidupan bernegara yang sahih sesuai dengan tuntunan Islam.

Wallahualam bissawab. []